Penampilan tari topeng yang mengisahkan salah satu karakter Panji di Gedung Perpusnas, Jakarta, Selasa (22/10/2024) pada pembukaan Pameran Cerita Panji: Prahara, Kembara, Asmara. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Filolog Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Adi Wisnurutomo menyatakan bahwa cerita Panji masih relevan hingga kini karena banyak mengisahkan tentang perbedaan kelas sosial.
“Cerita Panji sering menggunakan konflik perbedaan kelas sosial. Kisah di dalamnya disajikan dengan adanya karakter dengan perbedaan kelas sosial dalam masyarakat yang diawali dengan konflik dan berakhir dengan cerita cinta bahagia,” katanya di Perpusnas, Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan beberapa dongeng tentang perbedaan kelas, misalnya Ande-Ande Lumut dari Jawa, di mana salah satu tokohnya, Klenting Kuning yang diperlakukan tidak adil oleh ketiga saudaranya (Klenting Merah, Klenting Hijau, dan Klenting Biru).
Selain itu, cerita tentang Bawang Merah dan Bawang Putih yang sudah sering dikisahkan dari mulut ke mulut juga mengangkat perbedaan kelas sosial, dan terinspirasi dari cerita Panji.
“Bahkan tidak hanya kelas sosial, tetapi juga perbedaan wujud seperti cerita Kethek Ogleng (pertunjukan tari dari Ponorogo dengan kera sebagai tokoh utama). Penggunaan pola yang sama ini menunjukkan bahwa pembahasan dan konflik terkait kesenjangan masih dianggap relevan dari masa ke masa,” ucap Adi.
Ia juga mengemukakan dalam ranah politik, cerita Panji tidak hanya melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari Jawa saja, meskipun latar utamanya adalah kerajaan dan daerah-daerah yang berada di Jawa bagian Timur.
“Cerita Panji tidak jarang berinteraksi dengan tokoh-tokoh dari luar Jawa, bahkan, pada beberapa kisah, Panji akan menjadi tokoh yang tidak berasal dari Jawa,” ujar dia.
Ia menyebutkan dua tokoh dari kisah Panji yakni Sabrang (yang kemudian diartikan sebagai menyeberang), dan Klana (diartikan sebagai berkelana), di mana sebutan tersebut merujuk pada tokoh-tokoh dari kerajaan lain seperti Makassar, Bengkulu, hingga Banda.