Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo membeberkan sejumlah faktor yang menjadi penghambat investasi hulu migas di Indonesia.
Hal tersebut merespon, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menilai bahwa investasi hulu migas di Indonesia mengalami penurunan drastis dalam 30 tahun belakangan ini.
Menurut Hadi, pemerintah sejatinya telah memberikan insentif yang menarik bagi para investor migas. Salah satunya dengan memberikan fleksibilitas kepada investor dalam memilih skema kontrak apakah dengan Cost Recovery atau Gross Split.
“Secara umum sudah ada perbaikan dari PSC Term, dimana investor boleh memilih PSC Cost Recovery atau Gross Split. Sehingga investor mendapatkan cukup flexibility,” kata dia kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/8/2024).
Di samping itu, Hadi membeberkan bahwa Indonesia masih memiliki 68 cekungan yang belum pernah dieksplorasi. Hal tersebut menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk berjualan kepada para investor.
Meski begitu, Hadi mengungkap beberapa hambatan yang memberatkan kinerja investasi hulu migas di Indonesia. Salah satu contohnya seperti peraturan yang berkaitan dengan perpajakan hulu migas.
“Masih ruwet di fiscal term terkait pajak. Akhir akhirnya, muncul pajak pajak lain di luar ketentuan PSC sehingga membuat galau investor, dengan hitungan yang kadang-kadang tidak masuk akal,” kata Hadi.
Oleh sebab itu, Hadi mengusulkan agar aturan terkait perpajakan hulu migas dapat disederhanakan. Bahkan ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan lex specialis pada aturan perpajakan.
“Tax Regime perlu disederhanakan dan dikembalikan pada konsep lex specialis dimana pajak migas yang 44% itu sudah mencakup semua pajak. Pajak pajak saat eksplorasi, pajak pajak tubuh bumi, cukup membuat repot aplikasi di lapangan,” katanya.
Senada, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto juga berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali penerapan asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam perpajakan hulu migas.
Sebab, potensi migas yang Indonesia tawarkan kepada para investor global masuk dalam kategori high risk dengan reward yang belum pasti. Hal ini terjadi lantaran beberapa potensi tersebut berada di area laut dalam, jauh dengan infrastruktur, dan kategori lapangan yang sudah tua.
“Nah, di dalam kondisi seperti itu, sejumlah masalah seperti birokrasi perizinan yang lama dan berlapis, lalu sistem perpajakan yang tidak lagi lex specialis dan tidak bisa berlakunya assume & discharge, lalu regulasi, kebijakan dan keputusan-keputusan yang kontraproduktif terhadap investasi, hal-hal seperti itu yang cukup mendominasi kita selama kurang lebih 2 dekade terakhir ini memang,” katanya.
Sementara, Pengamat dan Praktisi Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tumbur Parlindungan menilai salah satu faktor utama yang menyebabkan turunnya investasi hulu migas di Indonesia adalah contract sanctity atau kesucian contract. Terutama yang telah disepakati bersama antara pemerintah dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
“Kepastian hukum dalam berinvestasi banyaknya aturan-aturan yang kadang kala bertentangan dengan PSC agreement atau perjanjian lainnya. Salah satunya perubahan harga gas tanpa melihat keekonomian dari lapangan/blok yang dikelola,” ujarnya.
Selain itu, koordinasi aturan antara kelembagaan, pemerintah pusat dan daerah juga hampir bisa dikatakan tidak sinkron. Ditambah lagi Indonesia kalah saing dengan negara lain dalam hal menarik investor migas ke dalam negeri.
“Dengan banyaknya investor kakap super major and major oil companies yang keluar dari Indonesia dalam 10 tahun terakhir, juga memberi sinyal kepada investors lainnya bahwa ada masalah dalam berinvestasi migas di Indonesia,” katanya.
Tumbur menambahkan investor sebetulnya tidak memerlukan insentif apabila semua aturan yang dibuat itu jelas dan bila ada perubahan peraturan tidak berlaku untuk hal yang telah disepakati di awal kontrak.
Sebagaimana diketahui, Menko Marves Luhut menyebut bahwa investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia sangat rendah dalam waktu 30 tahun belakangan ini. Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil identifikasi gugus tugas yang ia buat.
Menurut Luhut, pihaknya telah melaporkan temuan tersebut kepada Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sehingga, rendahnya iklim investasi migas di Indonesia dapat segera diatasi.
“Saya meminta mereka (gugus tugas) untuk mengidentifikasi mengapa selama 30 tahun terakhir kita memiliki sangat sedikit, mungkin nol investasi baru di bidang migas. Jawabannya adalah ini ada 11 hal yang harus kita perbaiki,” ujar Luhut dalam Supply Chain & National Capacity Summit 2024 di Jakarta, dikutip Kamis (15/8/2024).
Luhut mengungkapkan rendahnya iklim investasi migas di Indonesia terjadi karena adanya kebijakan yang salah dari Kementerian Keuangan. Oleh sebab itu, hal ini perlu segera diperbaiki.
“Jadi, saya juga bilang ke kolega kita dari Menteri Keuangan, ada yang salah dengan kalian. 30 tahun tidak ada investasi, pasti ada yang salah dengan regulasinya. Kita harus mengubah atau memperbaiki regulasi ini,” ujarnya.