Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya mendorong investasi di sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satunya melalui aturan baru terkait relaksasi ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menjelaskan relaksasi ketentuan TKDN ditujukan untuk mempercepat pengembangan EBT di Indonesia. Pasalnya, pendanaan hingga hibah dari luar negeri untuk proyek EBT selama ini terhambat pada aturan TKDN.
Sementara, apabila mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, kebutuhan investasi yang dibutuhkan untuk proyek EBT hingga 2030 mencapai US$ 55,18 miliar atau Rp 876 triliun.
“Kalau dihitung berdasarkan RUPTL hingga tahun 2030 pun, kita masih kekurangan investasi sebesar 55,18 billion USD. Nah, ini tentu saja pencapaiannya tidak mudah,” kata Eniya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (13/8/2024).
Oleh sebab itu, ia berharap dengan adanya aturan ketentuan TKDN, dapat mengakselerasi percepatan investasi berbagai proyek EBT di Indonesia. Mengingat, masih terdapat gap penambahan pembangkit berbasis EBT hingga 7,4 Gigawatt (GW) pada 2025.
“Tahun depan saja, kita masih kurang 7,4 gigawatt. Jadi ini yang menjadi salah satu hambatan belum tercapai energi baru terbarukan di tanah air kita. Jadi sampai the next satu tahun saja kita perlu 7,4 gigawatt,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, hingga Juni 2024, realisasi investasi di sektor EBT telah mencapai US$ 565 juta atau sekitar 45,9% dari target tahunan sebesar US$ 1,232 miliar. Sektor panas bumi dan aneka EBT menjadi penyumbang terbesar dalam investasi ini.
“Nah, kita melihat untuk tahun ini saja capaian investasi dari energi baru terbarukan itu masih mencapai hanya 46% dari target satu tahun. Jadi ini pun masih banyak hal yang harus kita lakukan, terobosan,” ujarnya.