Perang Arab Besar-besaran Tinggal Sejengkal, Apa Dampak Ekonominya?

Beberapa tahun belakangan dunia disibukkan dengan sejumlah peperangan. Namun yang paling menonjol salah satunya adalah perang di Jazirah Arab.

Pasca serangan Israel ke kantong Palestina, Gaza, sejak Oktober 2023, kawasan tersebut semakin memanas. Belum lagi sejak dua pekan lalu, risiko geopolitik telah meningkat tajam di Timur Tengah sejak terbunuhnya pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh di Teheran, Iran dan tewasnya Komandan Hizbullah, Fouad Shukr.

Sebenarnya sejumlah analis tidak yakin akan ada serangan besar-besaran yang dilakukan musuh Israel seperti Iran. Hal ini setidaknya dikatakan Kepala Investasi Zaye Capital Markets, Naeem Aslam, seperti dikutip The National News, Selasa (13/8/2024).

“Saya tidak berpikir Iran saat ini memiliki kemampuan untuk melakukan perang skala penuh dengan Israel dan sekutunya,” katanya.

“Berbicara dari sudut pandang pasar, kami tidak benar-benar berpikir bahwa ada risiko nyata yang diperhitungkan oleh pasar, sehubungan dengan perang besar-besaran yang terjadi di Timur Tengah,” tambahnya.

Meski begitu, S&P menyebut bisa saja hal di luar dugaan terjadi. Jika diplomasi gagal, konfrontasi yang meningkat antara Israel melawan Hizbullah-Iran akan memburuk situasi yang berujuk ke konflik regional.

“Jika terjadi eskalasi perang regional, kami memperkirakan akan melihat serangan terkoordinasi terhadap Israel dan pasukan regional AS,” kata kepala risiko negara Mena di S&P Intelijen Pasar Global, Jack Kennedy.

“Dari Iran, Lebanon, Suriah, Irak, Yaman, dan Wilayah Palestina,” jelasnya.

Lebanon, yang perekonomiannya sudah terguncang akibat politik selama bertahun-tahun, kemungkinan akan terkena dampak terburuk. Perang akan menempatkan negara tersebut pada risiko “keruntuhan total”.

Perlu diketahui Lebanon adalah basis Hizbullah. Jika perang terjadi dengan Israel, Produk Domestik Bruto (PDB) Lebanon akan menyusut secara signifikan.

“Berdasarkan ancaman Israel yang akan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Lebanon, dan menghukum negara Lebanon, saya memperkirakan kontraksi sebesar 10 hingga 15% tahun ini,” kata kepala penelitian ekonomi kelompok di Byblos Bank yang berkantor pusat di Beirut, Nassib Ghobril.

S&P juga mengatakan demikian. Dalam skenario eskalasi, kemungkinan target lini pertama Israel ketika menyerang Lebanon adalah aset militer Hizbullah di atau dekat infrastruktur penting seperti Bandara Internasional Beirut-Rafic Hariri dan pelabuhan Beirut, serta sejumlah pelabuhan kecil di Lebanon selatan.

“Perekonomian negara tersebut diperkirakan telah menderita kerugian senilai US$1,5 miliar (sekitar Rp 23 triliun) akibat perang,” tulis laman itu lagi.

Perlu diketahui, menurut World Bank (Bank Dunia), Lebanon bergulat dengan salah satu krisis keuangan global terburuk dunia sejak pertengahan abad ke-19. Sektor perbankan menghadapi kerugian lebih dari US$70 miliar.

Mata uangnya juga telah kehilangan lebih dari 90% nilainya sejak tahun 2019. Ini ketika negara tersebut gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Perekonomian Iran pun, yang telah menderita akibat sanksi Amerika Serikat (AS) sejak 2018, akan makin menderita. Perlu diketahui AS kembali menerapkan sanksi ke Iran setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik Washington dari perjanjian nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang memberikan keringanan sanksi kepada Teheran dengan imbalan pembatasan program pengayaan nuklirnya.

“Eskalasi masalah apa pun hanya akan mengarah pada potensi pengetatan sanksi, bukan pelonggaran sanksi,” kata CEO The Global CIO Office, Gary Dugan.

Sebenarnya perekonomian Iran terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir dengan PDB mencapai 4,7% pada tahun lalu. Namun, menurut perkiraan Dana Moneter Internasionalm (IMF), pertumbuhan diperkirakan akan melambat sebesar 3,3% pada tahun ini dan 3,1% pada tahun 2025.

Inflasi kronis merupakan tantangan ekonomi utama bagi Iran, di mana harga konsumen yang mencapai 45,8% tahun lalu, tetap berada di atas 20% selama empat dekade terakhir. IMF memperkirakan perekonomianakan melambat menjadi 37,5% tahun ini.

Belum ada hitung-hitungan pasti bagaimana perang menghancurkan ekonomi Iran. Namun target-target pertumbuhan pasti tak akan tercapai.

Sementara itu, perang yang meluas ke Lebanon dan Iran akan memukul kepercayaan investor di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini akan mempengaruhi sektor-sektor mulai dari pariwisata dan pelayaran hingga ritel dan real estat

Tanda pariwisata terpukul bahkan sudah terlihat sekarang. Sejumlah negara telah mengeluarkan peringatan perjalanan kepada warganya untuk tidak bepergian ke Lebanon, Israel, dan perbatasan Yordania dan Mesir.

Padahal pariwisata menyumbang sekitar 12% hingga 26% dari penerimaan transaksi berjalan di Lebanon, Yordania dan Mesir. Menurut S&P, jika perang pecah, sektor ini bisa kehilangan sekitar US$16,1 miliar pendapatan pariwisata.

“Sektor perjalanan dan pariwisata, transportasi dan ritel akan terkena dampak paling parah jika konflik yang lebih luas muncul,” kata ekonom Lebanon di Oxford Economics, Maya Senussi.

“Mengingat sektor pariwisata masih menderita akibat konflik yang sedang berlangsung dan tingkat kunjungan wisatawan yang sangat rendah, kemungkinan besar dampaknya akan terlihat pada lambatnya pemulihan,” tambahnya.

Pernyataan ini juga tak main-main. Gangguan dari milisi Houthi Yaman saja, yang menyerang kapal-kapal komersial di Laut Merah sebagai pembalasan atas perang Gaza, sudah membuat pelayaran berkurang drastis di Laut Merah yang mempengaruhi sejumlah negara, termasuk Mesir.

“Serangan Houthi terhadap kapal-kapal di Laut Merah mungkin akan meningkat dengan semakin seringnya penggunaan kapal permukaan tanpa awak dan/atau kendaraan bawah air tanpa awak, sehingga meningkatkan kemungkinan kerusakan dan tenggelamnya lambung kapal secara signifikan,” kata Kennedy dari S&P.

“Serangan-serangan ini akan meluas ke Laut Arab/Samudra Hindia dan Mediterania, yang secara signifikan meningkatkan risiko kerusakan dan gangguan terhadap pelayaran komersial dan mengerahkan dukungan angkatan laut,” tambahnya.

Ancaman ekonomi terbesar yang mungkin muncul dari perang ini adalah lonjakan harga minyak dan peningkatan volatilitas pasar, yang berdampak pada perekonomian global. Kenaikan harga minyak mentah global akan memunculkan kenaikan inflasi di banyak negara dunia.

“Pertanyaan yang muncul kembali mengenai inflasi,” kata Aslam.

Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Inflasi sempat melambung di terutama kawasan Eropa karena perang Rusia dan Ukraina 2022 lalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*