Faksi bersenjata Lebanon, Hizbullah, tengah mendapatkan tekanan besar. Kelompok politik itu saat ini sedang mendapatkan serangan hebat dari Israel, yang bahkan menewaskan pemimpin tertingginya, Sayyed Hassan Nasrallah.
Serangan ini pun menimbulkan pertanyaan apakah Hizbullah akan ikut mendapatkan tekanan dari para pihak oposisinya. Diketahui, kelompok Kristen dan Sunni telah lama melihat Hizbullah sebagai pihak yang membajak negara melalui kekuatan militer, yang lebih kuat daripada tentara Lebanon karena dukungan dari Iran.
“Hizbullah sangat rentan. Sebagai organisasi yang telah hancur, sulit untuk melihat mereka bangkit kembali seperti biasa dalam waktu dekat,” kata Mohanad Hage Ali, seorang pakar Lebanon dan peneliti senior di Carnegie Middle East Center, kepada Al Jazeera, Selasa (1/10/2024).
Sejak berakhirnya perang saudara Lebanon selama 15 tahun pada tahun 1990, Hizbullah telah mengonsolidasikan kendali yang kuat atas politik Syiah di negara tersebut. Hizbullah memperjuangkan identitas, agama, dan perlawanan sebagai obat mujarab untuk melawan Israel dan Amerika Serikat (AS) di kawasan tersebut.
Filosofi kelompok tersebut sangat selaras dengan komunitas Syiah, yang sangat gembira ketika Hizbullah membebaskan Lebanon Selatan dari pendudukan Israel selama lebih dari 18 tahun pada tahun 2000.
Seiring dengan meningkatnya kekuasaan, kekayaan, dan senjata yang dimiliki Hizbullah, secara bertahap kelompok tersebut menjadi kekuatan dominan dalam politik Lebanon. Posisi ini menjadikannya sebagai pemeran yang dituding memecah belah di negara tersebut, dengan sebagian pihak menyebutnya ‘negara dalam negara’.
Tuduhan keterlibatan dalam pembunuhan para pesaingnya terus menghantui Hizbullah, termasuk pembunuhan pemimpin Sunni Rafik Hariri pada tahun 2005. Hizbullah telah berulang kali membantah keterlibatannya, tetapi seorang anggota kelompok tersebut dinyatakan bersalah atas pembunuhan Hariri.
Maka itu, dengan adanya situasi ini, para ahli menganggap banyak faksi-faksi Lebanon mungkin ingin memanfaatkan kelemahan Hizbullah yang nyata untuk menegaskan kembali dominasi mereka sendiri.
“Penghancuran kemampuan Hizbullah kemungkinan akan membuat lawan-lawannya dan pasukan anti-Iran di Lebanon semakin berani,” kata Imad Salamey, seorang pakar Lebanon dan ilmuwan politik di Lebanese American University.
Sudah ada seruan bagi Lebanon untuk memilih presiden baru yang sama sekali tidak berpihak pada Hizbullah. Dan pada hari Senin, Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati mengatakan bahwa ia siap mengerahkan tentara ke Lebanon Selatan untuk melaksanakan resolusi PBB demi mengakhiri keberadaan senjata Hizbullah di sana.
Pernyataan Mikati muncul setelah pertemuan dengan juru bicara parlemen Syiah Nabih Berri, yang sering menjadi perantara antara Hizbullah dan faksi-faksi yang menentangnya.
“Faksi-faksi politik yang telah lama menentang dominasi Hizbullah, khususnya yang berpihak pada kepentingan Barat, mungkin melihat ini sebagai peluang untuk mendorong perubahan yang lebih radikal, termasuk keselarasan yang lebih besar dengan Barat,” tambah Salamey.
Meski begitu, penggulingan Hizbullah ini pun menimbulkan pertanyaan baru yakni terkait masa depan Lebanon. Hal ini disebabkan bagaimana negara itu saat ini sedang rapuh, dengan kondisi ekonomi yang sangat parah
“Dengan kekuatan militer dan politik Hizbullah yang sangat terpuruk, Lebanon mungkin memasuki periode ketidakstabilan dan ketidakpastian yang meningkat, di mana kurangnya aktor yang kuat untuk mengisi kekosongan kekuasaan dapat membuat negara tersebut lebih rentan terhadap intervensi eksternal dan fragmentasi internal,” tutur Salamey lagi.